Sunday, June 12, 2016

Saat Kaum Dhuafa Berpuasa

Saat Kaum Dhuafa Berpuasa ~ Bulan Ramadhan kembali menyapa paruh umur kita. Tapi, apakah perilaku dan rutinitas kita akan sama dengan tahun lalu? Sebagian kita terjebak pada budaya konsumtif tak terkontrol saat beribadah puasa. Sementara, pada lain waktu, sebagian saudara kita, para dhuafa, yang berpuasa sebaliknya. Oleh karena itu tak ada salahnya kita mengetahui gejolak batin kaum dhuafa dalam menjalani puasa. Mudah-mudahan bisa menjadi refleksi sekaligus menyadarkan kita bahwa puasa bukan sekedar ritual tanpa makna. Beberapa figur berikut ini contohnya. 


Hidup berkecukupan adalah mimpi setiap orang. Begitu pula dengan ibu Ruminah (43 tahun), istri dari Bowo Leksono (36 tahun), yang memutuskan hijrah ke Jakarta demi meraup rupiah. Suasana desanya yang tenang di Tejokusuma, Tamansari , Yogyakarta, tak mampu lagi menahan langkahnya bersama suami dan seorang anaknya untuk mengadu nasib di Jakarta.

“Saya hanya ingin mencari kehidupan yang lebih layak agar anak-anak  saya bisa sekolah,” ujar Ibu Ruminah saat ditemui di daerah Bukit Duri.

Terhitung sudah 26 tahun ia tinggal di Jakarta, Kota metropolitan yang ternyata tak banyak memberikan pilihan kerja. Apalagi baginya dan suaminya yang tak selesai mengecap Sekolah Dasar. Tapi tekadnya sudah bulat. “Terlanjur berjalan, pantang surut langkah kembali,” Ia berpeluh keringat menjemput rezekinya dengan mengumpulkan barang-barang bekas yang disetorkannya ke tempat penampungan di daerah Sawo Kecik.

Sosok ibu lima orang anak yang bersuamikan tukang besi ini, setiap hari rutin mengais-ngais sampah di daerah Manggarai dan sekitarnya. Berangkat saat mentari masih dalam peraduan selepas menunaikan shalat Shubuh. Perut kempisnya hanya diisi air putih tanpa sarapan.

Besi panjang yang bagian ujungnya melengkung (ganco), menjadi tempatnya menggantungkan harapan. Tubuh rampingnya harus pula dibebani keranjang yang lumayan besar. Kata-kata  kasar dan kalimat “dasar gembel!” yang dilontarkan orang tak berperasaan, telah menjadi sarapannya. Ia tak peduli. Baginya, selama pekerjaan itu halal dan tidak merugikan, kenapa mesti malu untuk dilakukan.

Kerja menjadi pemulung memang berat. Apalagi dilakukan oleh perempuan. Tapi, ia harus bertahan demi sesuap nasi dan  sejumlah impian masa depan. Dan, untuk kesekian kali, ia bisa  bertemu dengan bulan puasa. Bulan penuh berkah yang membuatnya “sejajar” dengan orang-orang kaya. Sama-sama menahan haus dan lapar. Tapi, nuansanya tentu berbeda.

“Saya merasakan perbedaan menahan lapar dan haus di bulan biasa dengan bulan Ramadhan. Kalau bulan ramadhan, rasa lapar dan haus itu tidak terlalu terasa. Mungkin, disitulah letak kekuatan niat yang menjadikan saya lebih kuat secara fisik,” ujar Ibu Ruminah menambahkan.

Saat orang kaya menikmati puding setelah adzan Maghrib tiba, ia hanya menikmati segelas teh manis. Namun, ia cukup  bersyukur sudah bisa sahur dan berbuka dengan nasi dan lauk pauk seadanya.

Lebaran pun ia tidak bisa seperti orang berpunya yang bangga bisa pergi  ke mall atau pusat perbelanjaan untuk memborong baju baru. Yang tersisa darinya hanyalah niat tulus dan harapan semoga ibadah puasanya Allah terima, tanpa perlu iri untuk mewarnai puasa dengan luapan materi.

Kondisi lebih mengenaskan terjadi pada Mbah Slamet (64 tahun). Di usianya yang sudah senja, ia harus rela hidup seorang diri ditengah hiruk pikuknya Jakarta. Tubuh rentanya  hanya bisa ia sandarkan di tembok jembatan dekat terminal kampung Melayu. Tembok yang menopang badannya dan menjadi saksi bisu bagaimana ia mengais belas kasihan orang lain.

Matanya yang sayup dihiasi gumpalan debu yang memenuhi sudut kelopaknya. Mulutnya lebih banyak terkatup. Kalau pun bicara seperti orang berbisik. Kedua kakinya tak lagi bertenaga akibat ganasnya penyakit kulit yang ia derita.

Lelaki tua yang berasal dari daerah Poncol, Semarang ini, terpaksa tinggal di bawah  jembatan terminal kampung melayu. Tubuh ringkihnya selalu diselemuti hawa dingin yang leluasa menembus kardus dan plastik-plastik bekas yang menjadi alasnya tidur. Ia tak lagi punya impian. Uang hasil mengemisnya hanya cukup untuk makan.

Tapi bulan Ramadhan, membuatnya bisa sedikit tersenyum. Tak lagi ada caci maki  atau umpatan sambil berbisik yang kerap ia dengar. Orang-orang yang melintas dihadapannya mendadak  “baik”, seakan ingin  menghapus dosa yang pernah mereka lakukan kepadanya.

Saat ditemui, ia hanya bisa berkata pelan, “Puasa itu bukan sekadar menahan makan dan minum, tapi juga nafsu. Alhamdulillah, saya bisa puasa penuh meski dengan makanan  seadanya. Saya hanya iri melihat orang berpuasa dengan makan enak, baju serba baru dan bisa berkumpul dengan keluarga.”

Masihkah sosok Ibu Ruminah dan Mba Slamet di belantara Jakarta ini berarti bagi kita? Mereka hanya berharap untuk diperhatikan sebagaimana layaknya manusia. Tapi sayang, mereka telah mengubur harapan itu  dalam-dalam. Sedalam keyakinannya bahwa Allah-lah satu-satunya yang masih bisa ia percaya. Bukan lagi kepada kita yang masih saja tak sadar bahwa puasa merupakan ajang mengasah kepekaan terhadap sesama.

Sumber : Majalah Hidayah Penerbit PT. Variasari Malindo
Share: