Tuesday, July 4, 2017

Islamic Worldview dan Aplikasinya




Kata Pengantar:

   Pengertian Pendahuluan dari Islamic Worldview yaitu terdiri dari dua kata Islamic dan Worldview.

   Worldview adalah pandangan hidup, filsafat hidup, prinsip hidup, motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahamann realitas, asas bagi aktifitas sosial, tolak ukur untuk membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain, pendek kata, worldview merupakan pandangan hidup atau keyakinan seseorang atau kelompok yang akan berpengaruh besar dan dominan terhadap setiap peranan kehidupan yang mereka lakukan.

   Islamic worldview, diistilahkan juga dengan kata-kata lainnya, seperti Islami Nazariat (Islamic Vision), At Tasawwur al Islami (Islamic Vision), al Mabda al Islami (Islamic Principle), Ru’yatul Islam lil Wujud (Islamic Worldview).

   Pengertian intinya dua kata itu (kata Islamic yang digandeng dengan kata Wordview) adalah cara pandang Islam terhadap segala sesuatu. Pensifatan kata Islam dalam worldview memberikan perubahan pada makna etimologis dan terminiologis dari setiap hal yang dipandang, berbeda dengan worldview dengan sifat yang lain, seperti Hindu worldview, Western worldview, dll

   Islamic worldview, berarti pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (syahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kehidupan manusia di dunia.

   Untuk mengikuti kupasan selanjutnya dari tajuk diatas itu, mari ikuti uraiannya sebagaimana dipaparkan berikut dibawah ini. □ AFM



ISLAMIC WORDVIEW DAN APLIKASINYA


M
enurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam memiliki worldview (pandangan alam / pandangan hidup) yang berbeda dengan pandangan hidup agama/peradaban lainnya. Al-Attas menjelaskan sejumlah karakteristik pandangan hidup Islam, antara lain: (1) berdasarkan kepada wahyu; (2)  tidak semata-mata merupakan pikiran manusia mengenai alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya; (3) tidak bersumber dari spekulasi filosofis yang dirumuskan berdasarkan pengamatan dan pengalaman inderawi; (4) mencakup pandangan tentang dunia dan akhirat.

  Jadi, menurut al-Attas, pandangan hidup Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth), atau pandangan Islam mengenai eksistensi (ru’yat al-Islam lil wujud).  Al-Attas menegaskan, bahwa pandangan hidup Islam bersifat final dan telah dewasa sejak lahir. Islam tidak memerlukan proses ’pertumbuhan’ menuju kedewasaan mengikuti proses perkembangan sejarah. Jadi, karakteristik pandangan hidup Islam adalah sifatnya yang final dan otentik sejak awal. Ini sangat berbeda dengan sifat agama-agama lainnya maupun kebudayaan/peradaban umat manusia yang berkembang mengikuti dinamika sejarah. 1

   Pandangan hidup Islam terbentuk dari serangkaian pemahaman tentang konsep-konsep pokok dalam Islam, seperti konsep Tuhan, konsep kenabian, konsep agama, konsep wahyu, konsep manusia, konsep alam, dan konsep ilmu. Seluruh elemen itu terkait satu dengan lainnya, dan konsep Tuhan menjadi landasan bagi konsep-konsep lainnya.           


Konsep syahadah

     Islam adalah nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Makna “Islam” itu sendiri digambarkan oleh Nabi Muhammad saw dalam berbagai sabda beliau. Imam al-Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang terkenal, al-Arba’in al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: “Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah -- jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim). Pada hadits ketiga juga disebutkan, bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: “Islam ditegakkan di atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, pelaksanaan haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim).

   Hadits Nabi Muhammad saw yang menjelaskan tentang makna Islam itu, sesungguhnya telah menggambarkan bagaimana konsep Islamic worldview. Konsep syahadat menjelaskan kaitan langsung  antara konsep Tuhan dalam Islam dengan konsep kenabian, dan sekaligus konsep wahyu dan kemudian menurun pada konsep syariat. Dalam konsep Islamic worldview justru konsep kenabian Muhammad sawmenduduki posisi yang sentral. Sebab hanya melalui wahyu yang diturunkan kepada utusannya yang terakhir (Muhammad saw), Allah swt menjelaskan segala sesuatu tentang Diri-Nya dan tentang bagaimana tata cara manusia untuk beribadah kepada-Nya (konsep penyerahan diri / the way of submission).

    Karena itu, keimanan kepada kenabian Muhammad saw adalah satu-satunya pintu masuk bagi manusia untuk dapat mengenal Tuhan dengan benar dan untuk memahami cara beribadah yang benar kepada Tuhan yang benar. Karena itulah, bisa dipahami, mengapa Nabi Muhammad sawsangat gigih mengajak umat manusia untuk beriman kepada Allah swt dan mengakui bahwa dirinya adalah utusan Allah yang terakhir.2 Nabi Muhammad sawjuga sangat keras dalam menolak kemusyrikan dan menolak adanya nabi lagi sesudah beliau.  Beliau dilarang keras berkompromi dalam soal ketuhanan dan ubudiyah (QS al-Kafirun). Sebab, tugas utama semua nabi adalah menyeru kepada manusia agar hanya menyembah Allah semata. (QS An-Nahl:36).

    Dengan posisi Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah dan uswatun hasanah (teladan yang baik), maka Islam saat ini adalah satu-satunya agama/peradaban yang memiliki teladan (model) yang abadi sepanjang zaman. (QS Al-Ahzab: 21, al-Anbiya: 107, Saba:28).  Seluruh aspek kehidupan kaum Muslimin memiliki panduan konsep dan model yang jelas yang diajarkan dan dicontohkan oleh Muhammad saw. Jika seorang bersyahadat,  maka seyogyanya dia telah menyiapkan akal, jiwa, dan raganya untuk meneladani sunnah Muhammad saw. (QS al-Hasyr: 7).

    Karena itu, tidak ada Islam jika tidak ada keimanan terhadap kenabian Muhammad saw. Keimanan kepada Nabi Muhammad  saw adalah kunci bagi seluruh keimanan yang lain. Sebab, Allah menurunkan wahyu-Nya, yakni al-Quran, melalui para utusan-Nya. Dan Nabi Muhammad sawadalah utusan Allah yang terakhir, la nabiyya ba’dahu, tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. Dalam al-Quran dikatakan, tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. (QS 51:56). Adalah Nabi Muhammad saw yang mengenalkan kepada manusia siapa Tuhan yang sebenarnya dan bagaimana cara beribadah kepada-Nya. Melalui Nabi Muhammad saw manusia memahami wahyu Allah tersebut. Nabi Muhammad lah yang menjelaskan bagaimana shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.

   Oleh sebab itu, dalam dakwah-Nya ke seluruh penjuru dunia, Nabi Muhammad saw senantiasa mengajak manusia untuk masuk Islam, memeluk agama Islam, dengan mengakuinya sebagai utusan Allah. ”Akuilah, bahwa aku ini adalah utusan Allah,” kata Nabi saw kepada umat manusia. Sebab, memang tidak mungkin manusia bisa mengenal dan menyembah Allah dengan benar, kecuali dengan mengakui dan mengimani Muhammad saw sebagai utusan Allah swt.


Islam agama wahyu/samawi

    Setelah wahyu Allah swt sempurna diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, maka Allah menegaskan, bahwa ”Pada Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS 5:3).

   Ayat ini secara tegas menyebutkan, bahwa ”Islam” adalah agama yang diridhai oleh Allah. Dan kata ”Islam” dalam ayat ini adalah menunjuk kepada nama agama yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. Bahkan, secara tegas, nama agama ini diberi nama ”Islam” setelah sempurna diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw.  Para pengikut nabi-nabi sebelumnya diberi sebutan sebagai ”muslimun”, tetapi nama agama para nabi sebelumnya, tidak secara tegas diberi nama ”Islam”, sebagaimana agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Meskipun, semua agama yang dibawa oleh para nabi mengandung inti ajaran yang sama, yakni ajaran Tauhid.

  Namun, agama-agama para nabi sebelumnya, saat ini sudah sulit dipastikan keotentikannya, karena sudah mengalami tahrif(perubahan-perubahan) dari pemeluknya. Karena itulah, harusnya pengikut para nabi sebelumnya, seperti kaum Yahudi dan Nasrani, juga mengimani Muhammad sebagai nabi Allah swt. Rasulullah saw bersabda:

“Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim)

   Nabi Muhammad sawjuga mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non muslim antara lain Kaisar Heraklius, raja Romawi yang beragama Nasrani, al Najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (Riwayat Ibn Sa`d dalam al Thabaqat al Kubra dan Imam al Bukhari dalam Shahih Bukhari).

   Karena Islam memelihara kontinuitas kenabian, maka Islam adalah satu-satunya agama yang memelihara kontinuitas wahyu. Karena itu, Islam bisa dikatakan sebagai satu-satunya agama wahyu. Ini bisa dilihat dari berbagai indikator:

Pertama, diantara agama-agama yang ada, hanya Islam-lah yang namanya secara khusus disebutkan dalam Kitab Sucinya. Nama agama-agama selain Islam diberikan oleh para pengamat keagamaan atau oleh manusia, seperti agama Yahudi (Judaisme), agama Katolik (Katolikisme), agama Protestan (Protestantisme), agama Budha (Budhisme), agama Hindu (Hinduisme), agama Konghucu (Konfusianisme), dan sebagainya.  Sedangkan Islam tidaklah demikian. Nama Islam, sebagai nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhamamd saw,  sudah disebutkan ada dalam Al-Quran:

"Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam." (QS 3:19). "Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan akan diterima dan di akhirat nanti akan termasuk orang-orang yang merugi." (QS 3:85).

Kepada orang-orang  kafir, kaum Muslim juga diperintahkan untuk mengungkapkan: "Lakum dinukum waliya din" - bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Kata-kata "Islam" dalam ayat-ayat tersebut menunjuk kepada satu nama agama tertentu, dan bukannya sebuah sebutan untuk satu sikap pasrah kepada Tuhan (submission to God). Selama ratusan tahun, kaum Muslim tidak pernah mempersoalkan, bahwa Islam adalah nama sebuah agama yang dibawa Nabi Muhammas saw. Istilah 'Islam' meskipun secara bahasa berarti "pasrah "  bukan berarti Islam hanya diartikan sebagai "sikap pasrah kepada Tuhan semata", tanpa melihat cara pasrah kepada Tuhan. Karena Islam adalah nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, maka Islam juga mengajarkan "cara pasrah" kepada Allah swt. Cara pasrah, atau cara ibadah, tidak boleh dikarang-karang oleh manusia. Tetapi, menurut Islam, cara ibadah haruslah sesuai dengan yang diajarkan oleh utusan Allah swt, yaitu Nabi Muhammad saw.

Kedua, dalam soal nama dan konsep Tuhan. Sebagaimana konsep Islamic worldview  yang ditandai dengan karakteristiknya yang otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan, menurut Prof. Naquib al-Attas,  juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam  Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam Al-Quran yang juga bersifat otentik dan final. Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern 3 atau pun dalam tradisi mistik Barat dan Timur. 4

   Bait pertama dalam Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja'far ath-Thahawi (239-321H), dan disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Syaibani, menyatakan: "Naqūlu fii tawqīdillāhi mu'taqidīna – bitawfiqillāhi: Innallāha wāhidun lā syarīkalahu."  Dalam Kitab Aqidatul Awam – yang biasa dimadrasah-madrasah Ibtidaiyah -- ditulis bait pertama kitab ini: "Abda'u bismillāhi wa-arrahmāni - wa bi-arahīmi dā'imil ihsani." Ayat pertama dalam al-Quran juga  berbunyi "Bismillāhir rahmānir rahāmi", dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

   Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz  'Allah' dibaca dengan bacaan yang tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam al-Quran. 5 Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad – yang sampai pada Rasulullah saw – maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah. Dengan demikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan final, karena menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah saw. Umat Islam tidak melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama Allah 6 , karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh Allah SWT – melalui al-Quran, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.

   Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa 7 , yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS 112). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: "La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah" -- Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah". Syahadat Islam ini juga bersifat final dan tidak mengalami perubahan sejak zaman Rasulullah saw sampai Hari Kiamat. Kaum Muslim di seluruh dunia – dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda – juga menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang sama. 8 Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan yang mendasar dalam masalah konsep 'Tuhan'. Karen Armstrong menulis dalam bukunya:

"Al-Quran sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai zhanna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna dan tidak mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai penghujatan." 9

Ketiga, karakteristik Islam sebagai agama wahyu bisa dilihat dari tata cara ibadah/ritual dalam Islam yang semuanya berdasarkan pada al-wahyu (Al-Quran dan As-Sunnah). Karena keotentikan wahyu dalam Islam, maka Islam juga memiliki konsep ibadah yang final dan otentik, tetap sepanjang zaman, dan tidak berubah-ubah mengikuti dinamika perkembangan zaman. Islam memiliki ibadah yang satu, yang melintasi zaman dan tempat. Kapan pun dan di mana pun, umat Islam melakukan shalat, puasa, haji, zakat,  dengan cara yang sama, dan tidak tergantung pada kondisi waktu dan tempat. Tentu saja, ini adalah konsep pokok, bukan konsep furu’iyyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan pada sejumlah masalah furu’. Tetapi, perlu dicatat, bahwa hanya umat Islam-lah yang kini memiliki ritual yang satu. Ke masjid mana pun umat Islam melakukan shalat, pasti melaksanakan shalat subuh dua rakaat, dimulai dari takbir ’Allahu Akbar’ dan diakhiri dengan salam. Tradisi seperti ini berbeda dengan konsep agama-agama lain yang memiliki ritual yang berbeda-beda, tergantung waktu dan tempat.

Keempat, konsep Islam sebagai agama otentik dan final dapat terjadi karena konsep wahyu dalam Islam adalah bersifat final. Al-Quran terjaga lafaz, makna, dan bacaannya dari zaman ke zaman. Konsep teks wahyu dalam Islam yang ”lafzhan wa ma’nan minallah” ini sangat berbeda dengan konsep Bibel yang diakui sebagai teks manusiawi dan teks sejarah sehingga memungkinkan ditafsirkan berdasarkan konteks sosial-historis, yang menyebabkan kaum Yahudi/Kristen memiliki konsep hukum yang dinamis dan berubah dari zaman ke zaman. Konsep wahyu yang otentik dan final yang lafzhan wa ma’nan minallah tidak memungkinkan al-Quran menerima model penafsiran hermeneutis ala Bibel yang menghasilkan kerelativan hukum Islam.

   Kebalikan dari Peradaban Barat tidak berdasarkan kepada wahyu tidak memiliki ’uswah hasanah’ (tokoh peneladanan baik sebagaimana Rasulullah saw yang memang mesti diaplikasikan: ”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasūlullāh itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allāh dan kedatangan hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allāh”, QS Al-Ahzāb 33:21) dalam seluruh aspek kehidupan, maka mereka juga tidak memiliki konsep hukum yang final. Mereka tidak menjadikan Bibel sebagai landasan bagi seluruh konsep kehidupan mereka. Mereka menggunakan segala cara agar teks Bibel itu tidak mengikat seluruh kehidupan mereka. Itu terjadi, misalnya, dalam kasus perzinahan, homoseksual, dan juga berbagai makanan yang diharamkan dalam Bibel. Ini sudah berlaku sejak dulu. The Letter of Barnabas (sekitar 100 M), misalnya, menginterpretasikan undang-undang tentang makanan dalam Kitab Imamat (Leviticus), bukan sebagai larangan untuk memakan daging hewan tertentu, tetapi lebih merupakan sifat-sifat buruk yang secara imajinatif diasosiasikan dengan hewan-hewan itu. Jika dibaca dalam Bibel, Kitab Imamat 11:1-46, disebutkan daftar binatang yang haram dimakan, seperti unta, pelanduk, kelinci, babi, 10  burung rajawali, burung onta, burung camar, elang, burung pungguk, tikus, katak, landak, biawak, bengkarung, siput, dan bunglon. “Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram itu semuanya bagimu.” (ayat 8).   Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000, pasal 11 ini diletakkan di bawah tajuk “Binatang yang haram dan yang tidak haram.” Dalam ayat 35 disebutkan: “Kalau bangkai seekor dari binatang-binatang itu jatuh ke atas sesuatu benda, itu menjadi najis; pembakaran roti dan anglo haruslah diremukkan, karena semuanya itu najis dan haruslah  najis juga bagimu.”  11

   Bisa dibayangkan, jika konsep makanan haram dan najis, ini diterapkan secara literal, apa jadinya orang Barat yang hobi makan babi dan memakan binatang yang jelas-jelas diharamkan dalam Bibel. Dengan kondisi faktual teks Bibel semacam itu, jelas sekali penafsiran secara literal tidak memungkinkan, sehingga hanya kalangan Kristen fundamentalis yang sangat naif, yang menafsirkan Bibel secara literal. 12

   Kondisi dan problem teks Bibel semacam itu tentu sangat berbeda dengan teks Al-Quran. Tentang makanan haram, misalnya, jelas dikatakan dalam Al-Quran, bahwa babi itu haram dimakan. Teks-nya jelas: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, dan daging babi.” (QS Al-Maidah:3). Tidak ada masalah bagi umat Islam memahami ayat itu secara tekstual, sebab memang secara teks, babi itu diharamkan. Tidak ada perbedaan teks dalam soal ini. Karena al-Quran adalah berbahasa Arab, dan selain yang berbahasa Arab bukanlah Al-Quran. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, bahwa babi adalah haram. Dan pemahaman itu dilakukan dengan melalui penafsiran secara tekstual. Kaum Muslimin selama ini juga paham, bahwa banyak ayat-ayat Al-Quran yang tidak dapat dipahami secara tekstual begitu saja. Misalnya, ayat dalam surat al-Jumuah: “Fa idzā qudhiyatishshalātu fa intasharū fi al-ardhi  (apabila selesai ditunaikan shalat (Jumat), maka bertebaranlah kamu di muka bumi), oleh kaum Muslimin tidak dipahami bahwa setelah usai menunaikan salat Jumat maka mereka diwajibkan untuk bertebaran di muka bumi (kembali bekerja), dan tidak tinggal berdiam diri saja di Masdjid.   Meskipun redaksi ayat itu adalah perintah (fīl amar), tetapi tidak dipahami secara tekstual, bahwa bertebaran di muka bumi (mencari nafkah, bekerja dengan profesi dan keahlian atau tugas masing-masing, beramal sebagai khalifah-khalifah) setelah shalat Jumat adalah wajib.

   Jadi, Al-Quran memang memiliki konsep teks dan metode penafsiran sendiri, yang berbeda dengan Bibel dan kitab-kitab lainnya. Karena itu, jika konsep teks Bibel dan cara penafsirannya diterapkan untuk Al-Quran – sebagaimana kini banyak dilakukan melalui metode hermeneutika (hermeneutikadiambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuienyang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan dari teks->pengarang->pembaca) – maka secara otomatis konsep syariat sebagaimana dipahami oleh kaum Muslim selama beratus tahun, juga akan bubar. Dalam penafsiran heremenutis ala Barat, tidak ada lagi hukum yang dipandang tetap, karena semua harus tunduk pada perubahan sejarah. Ini sangat berbeda dengan konsep Islam yang mengenal hal-hal yang qath’iy (pasti) dan dzanniy (dugaan).


Penutup

   Sebagai kesimpulan dari pemaparan singkat ini, maka konsep dan aplikasi syariat Islam harus dimulai dari perumusan dan aplikasi konsep ’Islamic worldview’. Syariat tidak akan tegak secara kaffah jika tidak berbasiskan pada konsep ’Islamic worldview’.

Jika seorang Muslim memiliki pemahaman yang benar terhadap konsep Tuhan, kenabian, wahyu (termasuk cara penafsirannya), maka secara otomatis, dia akan menerima konsep syariat Islam, sebagai bagian dari konsep Islamic worldview.

Jika seseorang menolak syariat (fobia syariat), maka pasti ada yang keliru pada pemahamannya akan Islamic worldview (sebagai al-maqasid, tuntunannya). Wallahu a’lam. □

Diangkat dari buah penanya Adian Husaini, MA - Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia/Dosen Pasca Sarjana PSTTI-Universitas Indonesia. □




Catatan Kaki:

1 Pembahasan lebih jauh tentang konsep Islamic worldview, lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).

2 Dalam Sirah Halabiyah, disebutkan sebuah surat Nabi Muhammad saw kepada Raja Oman, Jaifar bin Julunda dan Abd bin Julunda: “… Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Sesungguhnya aku mengajak kalian berdua dengan ajakan Islam. Kalian berdua, masuk Islamlah, maka kalian akan selamat (Aslimā taslamā).  Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada seluruh manusia, agar aku memberi peringatan kepada orang yang hidup dan menegaskan pernyataan yang benar kepada kaum kafir. (Terjemahan ini penulis buat berdasarkan teks Arab yang dikutip dari buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw karya Munawwar Khalil (GIP, 2001), II:50.

3 Prof. Frans Magnis Suseno, guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, merangkum tantangan modernitas terhadap keimanan dan  'konsep Tuhan  ' agama-agama: "Modernitas sebagaimana menjadi kenyataan di Eropa sejak abad ke-17 mulai meragukan ketuhanan. Reformasi Protestan abad ke-16 sudah menolak banyak klaim Gereja. Dalam abad ke-17 empirisismemenuntut  agar segala pengetahuan mendasarkan diri pada pengalaman inderawi. Pada akhir abad ke-18 muncul filosof-filosof materialis pertama yang mengembalikan keanekaan bentuk kehidupan, termasuk manusia, pada materi dan menolak alam adi-duniawi. Dalam abad ke-19 dasar-dasar ateisme filosofis dirumuskan oleh Feurbach, Marx, Nietzsce, dan dari sudut psikologi, Freud. Pada saat yang sama ilmu-ilmu pengetahuan mencapai kemajuan demi kemajuan. Pengetahuan ilmiah dianggap harus menggantikan kepercayaan akan Tuhan. Akhirnya, di abad ke-20, filsafat untuk sebagian besar menyangkal kemungkinan mengetahui sesuatu tentang hal ketuhanan, sedangkan dalam masyarakat sendiri ketuhanan semakin tersingkir  oleh keasyikan budaya konsumistik. Sebagai akibat, manusia modern menjadi skeptis tentang ketuhanan kalau ia tidak menyangkalnya sama sekali. Maka apabila seseorang, atau sekelompok orang, tetap yakin akan adanya Tuhan, mereka mau tak mau harus menghadapi tantangan skeptisisme modernitas itu." (Lihat, Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal. 44-45.

4  Dalam konsep agama Budha, misalnya, seorang Buddhis memiliki enam keyakinan yang disebut Sad-saddha, yang terdiri dari keyakinan tentang adanya: (1) Tuhan Yang Maha Esa (2) Tri Ratna (3) Bodhisattva, Arahat dan para Buddha, (4) Hukum Kasunyatan (5) Kitab Suci Tri Pitaka, dan (6) Nirvana. Buddha tidak menyebut nama Tuhannya dengan sebutan tertentu. Tentang "Tuhan Yang Maha Esa" tidak dijelaskan nama-Nya secara khusus. Dalam buku Be Buddhist Be Happy, misalnya, ditulis: "Seorang umat Buddha meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal dengan sbeutan: "Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkatam", yang artinya: Sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, Yang Mutlak. Tuhan Yang Maha Esa  di dalam agama Buddha adalah Anatman (Tanpa Aku), suatu yang tidak berpribadi, suatu yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Hal ini diungkapkan dalam Kitab Suci UdanaVIII ayat 3. Seorang Buddhis meyakini Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang mendasari kehidupan dan alam semesta, dan juga sebagai tujuan atau cita-citanya yang tertinggi atau tujuan hidup akhirnya, yakni yang akan dipahami sepenuhnya bila telah tercapai Nirvana." (Lihat, Jo Priastana, Be Buddhist Be Happy, (Jakarta: Yasodhara Puteri Jakarta, 2005), hal. 28-29.

Agama Hindu, disamping memiliki konsep ketuhanan yang khas. Tentang Hindu, Alain Danielou, menulis dalam bukunya, Gods of India: Hindu Polytheism, (Neww York: Inner Traditions International, 1985): "Hinduism, or rather the "eternal religion" (sanata dharma), as it calls irself, recognizes for each age and each country a new form of revelation and for each man, according to his stage of development, a different path of realization, a different of worship, a different morality, different rituals, different gods." (hal. x).  Kaum Hindu Bali menyebut Tuhan Yang Maha Esa sebagai "Ida Sang Hyang Widhi Wasa", sedangkan kaum Hindu India lebih suka menyebut "Brahman".

5  Salah satu syarat qiraah yang sahih dalam al-Quran adalah bahwa bacaan itu harus ditetapkan berdasarkan sanad yang mutawatir atau shahih, bukan berdasarkan spekulasi akal. Qiraat ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah saw. Karena itu, ketika bertemu dengan huruf Alif Lam Lam ha (Allah), orang Islam pasti akan membaca dengan "Alloh", bukan "Allah".  Ketika bertemu dengan huruf Alif Lam Mim, maka akan dibaca dengan "Alim Lam Mim" dengan panjang pendek tertentu. Tentang ilmul Qiraat bisa dilihat dalam berbagai  Kitab Ulumul Qur'an.  Ali As-Shabuni, misalnya, menulis bahwa qiraat "tsabitatun bi asanidiha ila Rasulillahi shallallahu 'alaihi wa sallam".  (Lihat, Muhammad Ali as-Shabuni, at-Tibyan fi Ulumil Quran, (Beirut: Darul Irsyad, 1970), hal. 249). Tradisi Islam dalam qiraat berdasarkan sanad ini sangat menarik jika dibandingkan dengan tradisi Yahudi-Kristen yang tidak mengenal 'sanad' sehingga mereka kehilangan jejak untuk menentukan bagaimana membaca satu manuskrip, termasuk dalam mengucapkan nama Tuhannya.

6  Spekulasi tentang nama Tuhan dilakukan oleh kaum Yahudi. Dalam konsep Judaism(agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. The Concise Oxford Dictionary of World Religionsmenjelaskan 'Yahweh' sebagai "The God of Judaism as thetetragrammaton YHWH, may have beenpronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy."  (Lihat, John Bowker (ed), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, (Oxford University Press, 2000).

Dr. D. L. Baker, menulis, bahwa "kata nama yang paling penting dalam PL ialah יהוה (yhwh), nama Allah Israel, yang ditemukan kurang lebih 6823 kali dalam PL. Nama tsb mungkin duludiucapkan “Yahweh”, tetapi menurut tradisi Yahudi , nama yang Mahasuci itu tidak boleh diucapkan untuk menghindari kemungkinan pelanggaran perintah ketiga (“Jangan menyebut nama יהוה, Allahmu, dengan sembarangan…” (Kel, 20:7). Oleh sebab itu, setiap kali terdapat kata יהוה dalam Alkitab, orang Yahudi membacanya dengan kata אדני (adonay) ‘Tuhan’.” (  (Dr. D.L. Baker et.al., Pengantar Bahasa Ibrani, Jakarta: BPK, 2004), hal. 52.)

Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang   beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Di Timur Tengah, kaum Kristen menyebut "Alloh" sama dengan orang Islam; di Indonesia melafazkan nama Tuhannya menjadi "Allah"; dan di Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God" atau "Lord". Ini juga yang kemudian dibawa dalam berbagai terjemahan al-Quran dalam bahasa Inggris.

Karena tidak memiliki tradisi sanad dan adanya problem otentisitas Kitab Sucinya, maka kaum Yahudi tidak tahu dengan pasti bagaimana cara melafazkan nama Tuhannya yang semuanya tertulis dalam empat huruf mati 'YHWH'. Tentang problem otentisitas Kitab Suci Yahudi – yang juga dijadikan oleh kaum Kristen sebagai Perjanjian Lama-nya – Th. C. Vriezen  menulis:

Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur). Proses penyaduran turun-temurun itu ada untung ruginya. Salah satu keuntungannya ialah bahwa sumber-sumber kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun, ada kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.” (Th.C.Vriezen, Agama Israel Kuno, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 2001), hal. 7.

Richard Elliot Friedman juga menulis: It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization… Five Book of Moses… It isone of the oldest puzzles in the world.” (Richard Elliot Friedman, Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library, 1989)

7 Karena dalam konsep Islam Allah adalah nama diri dari Dzat Yang Maha Kuasa, maka seharusnya, lafaz Allah dalam al-Quran tidak diterjemahkan ke dalam sebutan lain, baik diterjemahkan dengan "Tuhan", "God", atau "Lord". Beberapa terjemahan al-Quran bahasa Inggris telah menerjemahkan lafaz Allah menjadi God. Misalnya, Abdullah Yusuf Ali – dalam The Holy Qur'an -- menerjemahkan "Bismillah" dengan "In the name of God". Begitu juga, "Alhamdulillah" diterjemahkan dengan "Praise be to God", dan "Qul Huwallahu ahad" diterjemahkan dengan "Say: He is God, the One and Only", juga ayat " Innaniy Anallahu La ilaha illa Ana fa'budniy wa aqimish shalata li dzikriy" juga diterjemahkan "Verily, I am God: there is no god but I; so serve thou Me (only) and establish regular  prayer for celebrating  My praise." (QS 20:14).

8  Bandingkan konsep dan teks syahadat Islam ini dengan syahadat Kristen, seperti dibahas pada bagian berikutnya dari makalah ini.

9  Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), (Bandung: Mizan, 2001), hal. 199-200.

10 Tentang binatang babiini cukup menarik jika dicermati sejumlah versi teks Kitab Imamat 11:7-8. Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), tahun 1971 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu  bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.”  Tetapi, dalam Alkitab versi LAI tahun 2004, kata babisudah berubah menjadi babi hutan:Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”  Dalam teks bahasa Inggris, versi The New Jerusalem Bible (1985), ayat itu ditulis: “you will regard the pig as unclean, because though it has a cloven hoof, divided into two parts, it is not a ruminant. You will not eat the meat of these or touch their dead bodies; you will regard them as unclean.”  Dari ketiga teks itu bisa dilihat, bagaimana problem teks Bible sangat rumit dan pelik, karena tidak ada kitab standar dalam rujukan penerjemahan Bible. Dalam Kamus Indonesia-Inggris karya John M. Echols dan Hassan Shadily (Jakarta: Gramedia, 1994), kata babi diterjemahkan menjadi pig, hog, pork. Sedangkan kata ‘babi hutan’ diterjemahkan dengan ‘wild boar’. Dalam Good News Bible, terbitan United Bible Sicieties, 1976, ayat itu ditulis: “Do not eat pigs. They must be considered unclean; they have devided hoofs, but do not clew the cud. Do not eat these animals or even touch their dead bodies; they are unclean.”  

11 Contoh-contoh problematika teks Bible telah banyak saya paparkan dalam buku saya Tinjauan Historis  Konflik Yahudi-Kristen-Islam (Jakarta: GIP, 2004).

12 Vatikan juga mengritik keras cara penafsiran literal ala kaum fundamentalis Kristen. Dikatakan, “…fundamentalisme cenderung menganggap bahwa teks alkitabiah seolah-olah didektekan kata demi kata oleh Roh Kudus. Mereka tidak mampu mengakui bahwa Sabda Allah telah dirumuskan dalam bahasa dan ungkapan manusia yang terbentuk melalui berbagai periode. Dengan demikian, mereka juga tidak memperhatikan bentuk-bentuk sastra dan cara berpikir manusiawi yang ditemukan dalam teks alkitabiah, yang sebagian besar merupakan hasil dari suatu proses yang panjang selama periode waktu yang panjang dan yang memuat tanda situasi-situasi historis yang sangat beragam.” (Lihat, Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan, hal. 92-93). Paus Benediktus XVI, melalui bukunya, Biblical Interpretation in Crisis: The Ratzinger Conference on Bible and Church (1989), malah secara tajam menyatakan, bahaya fundamentalisme dalam penafsiran Bible. Ia mengajak untuk menafsirkan Bible dengan bijak sesuai konteks sejarah proses penyusunan teks Bible. (Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005), hal. 32. □□□

(Depok, 15 Mei 2007/disampaikan dalam diskusi di Fakultas Hukum UGM, 16 Mei 2007).


Diakses dari:

https://banihamzah.wordpress.com/2007/05/25/islamic-worldview/#more-35
dan sumber-sumber lainnya.  

Share: