Thursday, February 22, 2018

TAHLILAN ADALAH BID'AH MENURUT MADZHAB SYAFI'I



INFO MEKKAH ~ Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yg berkata, "Tahlilan kok tidak boleh?, tahlilan kan ialah Laa ilaah illallahh?".

Tentunya tidak seseorang muslimpun yg melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yg nir diragukan kekafirannya. Akan namun yang dimaksud menggunakan kata "Tahlilan" di sini adalah acara yang dikenal sang warga  yaitu program kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.

Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan "Dasar wahabi"..!!!

Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan merupakan bid'ah yang dicetus sang kaum wahabi !!?


Sementara para pelaku program tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi'i !!!. Ternyata para ulama akbar dari madzhab Syafi'iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap program tersebut menjadi bid'ah yg mungkar, atau minimal bid'ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi'yah misalnya Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi & yang lainnya adalah wahabi??!!


A. Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, & para imam madzhab tidak pernah tahlilan

Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana program maulid Nabi & bid'ah-bid'ah yg lainnya- tidaklah pernah dilakukan sang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, nir juga para sahabatnya, nir jua para tabi'in, & bahkan nir jua pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, & Ahmad rahimahumullah).

Akan namun anehnya kini   acara tahlilan dalam kenyataannya seperti adalah suatu kewajiban pada pandangan sebagian warga . Bahkan adalah celaan yg akbar apabila seseorang meninggal lalu tidak ditahlilkan. Sampai-hingga terdapat yg menyampaikan, "Kamu kok nir mentahlilkan saudaramu yg mangkat ??, seperti nguburi kucing aja !!!".

          Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah kehilangan poly saudara, karib kerabat, & pula para teman beliau yg mangkat  pada masa kehidupan beliau. Anak-anak dia (Ruqooyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim radhiallahu 'anhum) mati semasa hayati dia, akan namun tak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan sang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah semuanya dikuburkan sang Nabi misalnya menguburkan kucing??.

Istri beliau yang sangat dia cintai Khodijah radhiallahu 'anhaa juga mangkat  pada masa hidup dia, akan namun sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-tiga, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja nir beliau tahlilkan. Demikian pula kerabat-kerabat dia yg beliau cintai mati pada masa hayati beliau, misalnya paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu dia Ja'far bin Abi Thoolib, dan jua sekian banyak teman-sahabat dia yang tewas pada medan pertempuran, tidak seorangpun berdasarkan mereka yang ditahlilkan sang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

          Demikian jua bila kita berkiprah kepada zaman al-Khulafaa' ar-Roosyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, & Ali) tidak seorangpun yang melakukan tahlilan terhadap saudara mereka atau sahabat-sahabat mereka yang tewas dunia.

Nah lantas apakah program tahlilan yang nir dikenal sang Nabi dan para sahabatnya, bahkan bukan adalah syari'at tatkala itu, lantas sekarang berubah statusnya sebagai syari'at yg sunnah untuk dilakukan??!!, bahkan wajib ??!! Sehingga apabila ditinggalkan maka timbulah celaan??!!

Sungguh latif perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi'i rahimahumallahu)

فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا

"Maka kasus apa saja yg pada hari itu (dalam hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para teman-pen) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini pula bukan merupakan kasus agama.”(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)

Bagaimana bisa suatu perkara yg jangankan merupakan kasus kepercayaan , bahkan nir dikenal sama sekali di zaman para teman, kemudian lantas sekarang sebagai bagian dari kepercayaan  !!!



B. Yang Sunnah merupakan meringankan beban famili mayat bukan malah memberatkan

          Yang lebih tragis lagi program tahlilan ini ternyata terasa berat bagi sebagian kaum muslimin yang rendah taraf ekonominya. Yang seharusnya famili yg ditinggal meninggal dibantu, ternyata kenyataannya malah dibebani dengan acara yg berkepanjangan…biaya  terus dimuntahkan buat tahlilan…hari ke-tiga, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…

Tatkala datang informasi mengenai meninggalnya Ja'far radhiallahu 'anhu maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengungkapkan :

اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ

"Buatlah makanan buat keluarga Ja'far, lantaran sesungguhnya sudah tiba kepada mereka masalah yang menyibukan mereka" (HR Abu Dawud no 3132

Al-Imam Asy-Syafi'I rahimahullah mengatakan :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ

"Dan saya menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk menciptakan kuliner bagi famili mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian oleh mayat. Lantaran hal ini merupakan sunnah & bentuk kebaikan, dan ini adalah perbuatan orang-orang baik sebelum kami & sehabis kami, karena tatkala tiba keterangan mengenai kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk famili Ja'afar, karena telah tiba pada mereka kasus yg menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)



C. Argumen Madzhab Syafi'i Yang Menunjukkan makruhnya/bid'ahnya program Tahlilan

Banyak aturan-hukum madzhab Syafi'i yg menampakan akan makruhnya/bid'ahnya program tahlilan. Daintaranya :

PERTAMA : Pendapat madzhab Syafi'i yg mu'tamad (yang menjadi patokan) adalah dimakruhkan berta'ziah ke famili mayit sesudah 3 hari kematian mayit. Tentunya hal ini jelas bertentangan menggunakan acara tahlilan yang dilakukan berulang-ulang dalam hari ke-7, ke-40, ke-100, & bahkan ke-1000

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengungkapkan :






"Para teman kami (para fuqohaa madzhab syafi'i) berkata : "Dan makruh ta'ziyah (melayat) selesainya tiga hari. Lantaran tujuan menurut ta'ziah merupakan buat menenangkan hati orang yang terkena musibah, dan yg secara umum dikuasai hati telah damai setelah 3 hari, maka jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat yg benar yang ma'ruf…." (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab lima/277)

Setalah itu al-Imam An-Nawawi mengungkapkan pendapat lain dalam madzhab syafi'i yaitu pendapat Imam Al-Haromain yg membolehkan ta'ziah setelah lewat 3 hari menggunakan tujuan mendoakan mayat. Akan namun pendapat ini diingkari sang para fuqohaa madzhab syafi'i.

Al-Imam An-Nawawi mengungkapkan :










"Dan Imam al-Haromain menghikayatkan –satu pendapat pada madzhab syafi'i- bahwasanya tidak ada batasan hari dalam berta'ziah, bahkan boleh berta'ziah sehabis 3 hari & meskipun telah lama   saat, karena tujuannya adalah buat berdoa, buat bertenaga pada bersabar, & embargo buat berkeluh kesah. Dan hal-hal ini mampu terjadi sesudah ketika yang usang. Pendapat ini dipilih (dipastikan) sang Abul 'Abbaas bin Al-Qoosh pada buku "At-Talkhiis".

Al-Qoffaal  (pada syarahnya) dan para pakar fikih madzhab syafi'i yang lainnya mengingkarinya. Dan pendapat madzhab syafi'i merupakan adanya ta'ziah akan namun tidak terdapat ta'ziah setelah tiga hari. Dan ini adalah pendapat yg dipastikan oleh mayoritas ulama.

Al-Mutawalli dan yg lainnya menyampaikan, "Kecuali bila keliru seorang nir hadir, & hadir sehabis 3 hari maka dia boleh berta'ziah"

(Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab lima/277-278)

Lihatlah dalam perkataan al-Imam An-Nawawi di atas memberitahuakn bahwasanya dalih buat mendoakan oleh mayat tidak sanggup dijadikan menjadi argument buat membolehkan program tahlilan !!!



KEDUA : Madzhab syafi'i memakruhkan sengajanya keluarga mayat berkumpul lama  -usang pada rangka mendapat tamu-tamu yg berta'ziyah, akan namun hendaknya mereka segera pergi dan mengurusi kebutuhan mereka.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengungkapkan :














"Adapun duduk-duduk buat ta'ziyah maka Al-Imam Asy-Syafi'i menashkan (menyatakan) & juga sang penulis al-Muhadzdzab dan seluruh pakar fikih madzhab syafi'i akan makruhnya hal tersebut…

Mereka (para ulama madzhab syafi'i) berkata : Yang dimaksud menggunakan "duduk-duduk buat ta'ziyah" adalah para famili mayat berkumpul pada tempat tinggal   kemudian orang-orang yg hendak ta'ziyah pun mendatangi mereka.

Mereka (para ulama madzhab syafi'i) mengatakan : Akan namun hendaknya mereka (keluarga mayat) pergi buat memenuhi kebutuhan mereka, maka barang siapa yg bertemu mereka memberi ta'ziyah kepada mereka. Dan hukumnya tidak tidak sama antara lelaki dan perempuan   dalam hal dimakruhkannya duduk-duduk untuk ta'ziyah…"

Al-Imam Asy-Syafi'i mengatakan pada buku "Al-Umm" :

"Dan aku  benci al-maatsim yaitu berkumpulnya orang-orang (pada rumah keluarga mayat –pen) meskipun mereka tidak menangis. Karena hal ini hanya memperbarui kesedihan, dan membebani pembiayayan….". Ini merupakan lafal nash (pernyataan) Al-Imam Asy-syafi'i pada buku al-Umm. Dan dia diikuti sang para pakar fikih madzhab syafi'i.

Dan penulis (kitab   al-Muhadzdzab) dan yg lainnya juga berdalil buat pendapat ini dengan dalil yg lain, yaitu bahwasanya contoh misalnya ini adalah muhdats (bid'ah)" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab lima/278-279)

Sangat jelas berdasarkan pernyataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ini bahwasanya para ulama madzhab syafi'i memandang makruhnya berkumpul-kumpul di tempat tinggal   keluarga mayat lantaran terdapat 3 alasan :

(1) Hal ini hanya memperbarui kesedihan, karenanya dimakruhkan berkumpul-kumpul meskipun mereka tidak menangis

(dua) Hal ini hanya menambah porto

(tiga) Hal ini adalah bid'ah (muhdats)



KETIGA : Madzhab syafi'i memandang bahwa perbuatan keluarga mayat yg membuat makanan agar orang-orang berkumpul pada rumah keluarga mayat merupakan masalah bid'ah

Telah kemudian penukilan perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ

"Dan aku  menyukai apabila para tetangga mayat atau para kerabatnya buat membuat makanan bagi keluarga mayat yg mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami & sehabis kami, karena tatkala datang berita tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan buat keluarga Ja'afar, lantaran sudah datang pada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)

Akan namun jika ternyata para wanita dari keluarga mayat berniahah (menyesali) sang mayat maka para ulama madzhab syafi'i memandang nir boleh membuat makanan buat mereka (keluarga mayat).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengungkapkan :











Para teman kami (para ahli fikih madzhab syafi'i) rahimahullah berkata, "Jika seandainya para perempuan   melakukan niahah (meratapi sang mayat pada tempat tinggal   famili mayat-pen) maka nir boleh membuatkan makanan bagi mereka. Karena hal ini merupakan bentuk membantu mereka pada bermaksiat.

Penulis kitab   as-Syaamil dan yg lainnya berkata : "Adapun famili mayat menciptakan kuliner dan mengumpulkan orang-orang buat makan kuliner tersebut maka nir dinukilkan sama sekali dalilnya, & hal ini merupakan bid'ah, nir mustahab (tidak disunnahkan/nir dianjurkan)".

Ini merupakan perkataan penulis asy-Syaamil. Dan argumen buat pendapat ini adalah hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu ia mengatakan, "Kami memandang berkumpul pada rumah famili mayat dan membuat kuliner sehabis dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah menggunakan sanad yang shahih" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/290)



D. Fatwa para ulama 4 madzhab pada kota Mekah akan bid'ahnya tahlilan

Diantara para ulama madzhab syafi'i lainnya yg menyatakan dengan tegas akan bid'ahnya tahlilan merupakan :

Dalam buku Hasyiah I'aanat at-Thoolibin, Ad-Dimyaathi berkata :











"Aku telah melihat pertanyaan yg ditujukan kepada para mufti kota Mekah tentang makanan yg dibuat sang famili mayat & jawaban mereka mengenai hal ini.

(Pertanyaan) : Apakah pendapat para mufti yg mulia di tanah haram –semoga Allah senantiasa menjadikan mereka bermanfaat bagi manusia sepanjang hari- tentang tradisi spesifik orang-orang yg tinggal pada suatu negeri, yaitu bahwasanya apabila seseorang sudah berpindah ke daarul jazaa' (akhirat) dan orang-orang kenalannya dan tetangga-tetangganya menghadiri ta'ziyah (melayat) maka telah berlaku tradisi bahwasanya mereka menunggu (dihidangkannya) kuliner. Dan karena rasa malu yang meliputi famili mayat maka merekapun bersusah payah buat menyiapkan berbagai makanan buat para tamu ta'ziyah tersebut. Mereka menghadirkan kuliner tersebut buat para tamu dengan susah payah. Maka apakah bila kepala pemerintah yang lembut dan afeksi kepada rakyat melarang sama sekali tradisi ini agar mereka balik  kepada sunnah yg mulia yg diriwayatkan berdasarkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimana  beliau berkata, "Buatkanlah kuliner buat keluarga Ja'far", maka sang ketua pemerintahan ini akan mendapatkan pahala karena pelarangan tersebut?. Berikanlah jawaban dengan tulisan & dalil !!"

Jawaban :














"Segala puji hanya milik Allah, & semoga shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, & para pengikutnya setelahnya. Ya Allah saya meminta kepadMu petunjuk kepada kebenaran.

Benar bahwasanya apa yg dilakukan sang warga  berupa berkumpul di famili mayat & pembuatan makanan merupakan bid'ah yg munkar yg pemerintah diberi pahala atas pelarangannya ….












Dan tidaklah diragukan bahwasanya melarang rakyat menurut bid'ah yg mungkar ini, padanya ada bentuk menghidupkan sunnaah dan mematikan bid'ah, membuka poly pintu kebaikan & menutup banyak pintu keburukan. Karena rakyat sahih-benar bersusah payah, yang hal ini mengantarkan pada pembuatan makanan tadi hukumnya haram. Wallahu a'lam.

Ditulis sang : Yang mengharapkan ampunan menurut Robnya : Ahmad Zainy Dahlan, mufti madzhab Syafi'iyah pada Mekah"

Adapun jawaban Mufti madzhab Hanafiyah pada Mekah sbb :














"Benar, pemerintah (waliyyul 'amr) menerima pahala atas pelarangan rakyat berdasarkan perbuatan-perbuatan tersebut yang merupakah bid'ah yang buruk dari mayoritas ulama….

Penulis Raddul Muhtaar mengatakan, "Dan dibenci famili mayat menjamu menggunakan makanan karena hal itu merupakan bentuk permulaan dalam kegembiraan, dan hal ini merupakan bid'ah"…

Dan dalam al-Bazzaaz : "Dan dibenci menyediakan kuliner dalam hari pertama, hari ketiga, dan sesudah seminggu, serta memindahkan makanan ke kuburan dalam saat trend-demam isu dst"…

Ditulis sang pelayan syari'at dan minhaaj : Abdurrahman bin Abdillah Sirooj, Mufti madzhab Hanafiyah di Kota Mekah Al-Mukarromah…

Ad-Dimyathi mengungkapkan : Dan telah menjawab semisal dua jawaban di atas Mufti madzhab Malikiah dan Mufti madzhab Hanabilah" (Hasyiah I'aanat at-Thoolibin 2/165-166)



Penutup

Pertama : Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku bermadzhab syafi'iyah, akan namun ternyata para ulama syafi'iyah membid'ahkan program tahlilan !!. Lantas madzhab syafi'iyah yg manakah yang mereka ikuti ??

(silahkan baca juga : http://hijrahdarisyirikdanbidah.Blogspot.Com/2010/06/tahlilan-dalam-pandangan-nu.Html)

Kedua :  Para ulama sudah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yg telah mati berguna bagi oleh mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah atas nama oleh mayat akan sampai pahalanya bagi oleh mayat. Akan namun kesepakatan  para ulama ini tidak mampu dijadikan dalil buat melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat disyari'atkan & bersedakah (dengan memberi kuliner) atas nama mayat disyari'atkan, akan namun kaifiyat (rapikan cara) tahlilan inilah yang bid'ah yg diada-adakan yg tidak dikenal oleh Nabi & para sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yg diingkari oleh para ulama syafi'iyah, selain adalah kasus yg muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang tegas :

-         Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu : "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat & membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan sang Ahmad bin Hambal & Ibnu Maajah menggunakan sanad yg shahih"

-         Berlawanan menggunakan sunnah yg jelas buat menyebarkan kuliner bagi famili mayat pada rangka meringankan beban mereka

Bid'ah sering terjadi menurut sisi kayfiyah (rapikan cara). Karenanya kita sepakat bahwa adzan merupakan hal yang baik, akan tetapi apabila dikumandangkan tatkala sholat istisqoo, sholat gerhana, sholat 'ied maka ini adalah hal yg bid'ah. Kenapa?, lantaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam & para sahabatnya nir pernah melakukannya.

Demikian pula bahwasanya membaca ayat al-kursiy sanggup mengusir syaitan, akan tetapi apabila ada seseorang lantas setiap kali keluar menurut masjid selalu membaca ayat al-kursiy menggunakan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar masjid poly syaitan, maka kita katakan hal ini merupakan bid'ah. Kenapa?, lantaran kaifiyyah & rapikan cara misalnya ini nir pernah dilakukan oleh Nabi & para sahabatnya.

Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang yg nekat buat mengadakan tahlilan menggunakan alasan buat mendoakan mayat & menyedekahkan makanan, kondisinya sama misalnya orang yg nekat sholat sunnah pada ketika-saat terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai sang Allah, akan namun Allah telah melarang melaksanakan sholat pada saat-saat terlarang.

Demikian juga berkumpul-kumpul di tempat tinggal   famili kematian dan bersusah-susah menciptakan kuliner buat para tamu bertentangan dan bertabrakan dengan dua perkara pada atas:

-         Sunnahnya mengembangkan makanan buat keluarga mayat

-         Dan hadits Jarir bin Abdillah mengenai berkumpul-kumpul di keluarga mayat termasuk niyaahah yang tidak boleh.

Keempat : Untuk berbuat baik kepada oleh mayat maka kita bisa menempuh cara-cara yang disyari'atkan, sebagaimana sudah lalu. Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja –tanpa wajib  program khusus tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan & mengumrohkan oleh mayat, dll.

Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yg dipilih sang Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an nir akan hingga bagi sang mayat.

Kelima : Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur'an akan hingga pada mayat, maka kita berusaha agar kita atau famili yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yg jujur.

Adapun menyewa para pembaca al-Qur'an yang telah siap siaga di pekuburan menanti kedatangan para peziarah kuburan buat membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari lantaran :

-         Tidak disyari'atkan membaca al-Qur'an pada kuburan, lantaran kuburan bukanlah loka ibadah sholat dan membaca al-Qur'an

-         Jika ternyata terjadi tawar menawar harga menggunakan para tukang baca tadi, maka hal ini merupakan indikasi akan ketidak ikhlasan para pembaca tersebut. Dan apabila keikhlasan mereka dalam membaca al-qur'an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala mereka juga sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa yg mau dikirimkan pada oleh mayat??!!

-         Para pembaca sewaan tersebut umumnya membaca al-Qur'an dengan sangat cepat lantaran mengejar & memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya, maka tentu pahala yg diperlukan sangatlah minim. Terus apa yg mau dikirimkan pada oleh mayat ??!!
Share: