Thursday, January 31, 2013

Kelemahan Hadits-Hadits Fadhilah Surat Yasin


Kebanyakan kaum muslimin membiasakan membaca surat Yasin, baik pada malam Jum'at (hari Jum'at menjelang khatib naik mimbar, tambahan-peny), ketika mengawali atau menutup majlis ta'lim, ketika ada atau setelah kematian dan pada acara-acara lain yang mereka anggap penting.

Saking seringnya surat Yasin dijadikan bacaan di berbagai pertemuan dan kesempatan, sehingga mengesankan, Al-Qur'an itu hanyalah berisi surat Yasin saja. Dan kebanyakan orang membacanya memang karena tergiur oleh fadhilah atau keutamaan surat Yasin dari hadits-hadits yang banyak mereka dengar, atau menurut keterangan dari guru mereka.

Al-Qur'an yang di wahyukan Allah adalah terdiri dari 30 juz. Semua surat dari Al-Fatihah sampai An-Nas, jelas memiliki keutamaan yang setiap umat Islam wajib mengamalkannya. Oleh karena itu sangat dianjurkan agar umat Islam senantiasa membaca Al-Qur'an. Dan kalau sanggup hendaknya menghatamkan Al-Qur'an setiap pekan sekali, atau sepuluh hari sekali, atau dua puluh hari sekali atau khatam setiap bulan sekali. [Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lainnya]
Sebelum melanjutkan pembahasan, yang perlu dicamkan dan diingat dari tulisan ini, adalah dengan membahas masalah ini bukan berarti penulis melarang atau mengharamkan membaca surat Yasin.
Sebagaimana surat-surat Al-Qur'an yang lain, surat Yasin juga harus kita baca. Akan tetapi di sini penulis hanya ingin menjelaskan kesalahan mereka yang menyandarkan tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Selain itu, untuk menegaskan bahwa tidak ada tauladan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat Yasinsetiap malam Jum'at, setiap memulai atau menutup majlis ilmu, ketika dan setelah kematian dan lain-lain.
Mudah-mudahan keterangan berikut ini tidak membuat patah semangat, tetapi malah memotivasi untuk membaca dan menghafalkan seluruh isi Al-Qur'an serta mengamalkannya.

Kelemahan hadits-hadits tentang fadhilah surat yasin.
Kebanyakan umat Islam membaca surat Yasinkarena -sebagaimana dikemukakan di atas- fadhilah dan ganjaran yang disediakan bagi orang yang membacanya. Tetapi, setelah penulis melakukan kajian dan penelitian tentang hadits-hadits yang menerangkan fadhilah surat Yasin, penulis dapati Semuanya Adalah Lemah.
Perlu ditegaskan di sini, jika telah tegak hujjah dan dalil maka kita tidak boleh berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebab ancamannya adalah Neraka. [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya]
Hadits Dha'if dan Maudhu'
Adapun hadits-hadits yang semuanya dha'if (lemah) dan atau maudhu' (palsu) yang dijadikan dasar tentang fadhilah surat Yasin diantaranya adalah sebagai berikut :

[1]. "Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin dalam suatu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya dan siapa yang membaca surat Ad-Dukhan pada malam Jum'at maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya". [Ibnul Jauzi Al-Maudhu'at 1/247]
Keterangan : Hadits ini Palsu
Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini dari semua jalannya adalah batil, tidak ada asalnya. Imam Daruquthni berkata : Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits. [Periksa : Al-Maudhu'at, Ibnul Jauzi, I/246-247, Mizanul I'tidal III/549, Lisanul Mizan V/168, Al-Fawaidul Majmua'ah hal. 268 No. 944]
[2]. "Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari keridhaan Allah, niscaya Allah mengampuni dosanya".
Keterangan : Hadits ini Lemah.
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya Mu'jamul Ausath dan As-Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi dalam sanadnya ada rawi Aghlab bin Tamim. Kata Imam Bukhari, ia munkarul hadits. Kata Ibnu Ma'in, ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat). [Periksa : Mizanul I'tidal I:273-274 dan Lisanul Mizan I : 464-465]
[3]. "Artinya : Siapa yang terus menerus membaca surat Yasin pada setiap malam, kemudian ia mati maka ia mati syahid".
Keterangan : Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu'jam Shaghir dari Anas, tetapi dalam sanadnya ada Sa'id bin Musa Al-Azdy, ia seorang pendusta dan dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits. [Periksa : Tuhfatudz Dzakirin, hal. 340, Mizanul I'tidal II : 159-160, Lisanul Mizan III : 44-45].
[4]. "Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin pada permulaan siang (pagi hari) maka akan diluluskan semua hajatnya".
Keterangan : Hadits ini Lemah.
Ia diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari jalur Al-Walid bin Syuja'. Atha' bin Abi Rabah, pembawa hadits ini tidak pernah bertemu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab ia lahir sekitar tahun 24H dan wafat tahun 114H. [Periksa : Sunan Ad-Darimi 2:457, Misykatul Mashabih, takhrij No. 2177, Mizanul I'tidal III:70 dan Taqribut Tahdzib II:22]
[5]. "Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur'an dua kali". [Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu'abul Iman].
Keterangan : Hadits ini Palsu.
[Lihat Dha'if Jamiush Shaghir, No. 5801 oleh Syaikh Al-Albani]
[6]. "Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur'an sepuluh kali". [Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu'abul Iman]
Keterangan : Hadits ini Palsu.
[Lihat Dha'if Jami'ush Shagir, No. 5798 oleh Syaikh Al-Albani]
[7]. "Artinya : Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) Al-Qur'an itu ialah surat Yasin. Siapa yang membacanya maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti pahala membaca Al-Qur'an sepuluh kali".
Keterangan : Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (No. 3048) dan Ad-Darimi 2:456. Di dalamnya terdapat Muqatil bin Sulaiman. Ayah Ibnu Abi Hatim berkata : Aku mendapati hadits ini di awal kitab yang di susun oleh Muqatil bin Sulaiman. Dan ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya. (Periksa : Silsilah Hadits Dha'if No. 169, hal. 202-203) Imam Waqi' berkata : Ia adalah tukang dusta. Kata Imam Nasa'i : Muqatil bin Sulaiman sering dusta. [Periksa : Mizanul I'tidal IV:173]
[8]. "Artinya : Siapa yang membaca surat Yasin di pagi hari maka akan dimudahkan (untuknya) urusan hari itu sampai sore. Dan siapa yang membacanya di awal malam (sore hari) maka akan dimudahkan urusannya malam itu sampai pagi".
Keterangan : Hadits ini Lemah.
Hadits ini diriwayatkan Ad-Darimi 2:457 dari jalur Amr bin Zararah. Dalam sanad hadits ini terdapat Syahr bin Hausyab. Kata Ibnu Hajar : Ia banyak memursalkan hadits dan banyak keliru. [Periksa : Taqrib I:355, Mizanul I'tidal II:283]
[9]. "Artinya : Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang akan mati di antara kamu".
Keterangan : Hadits ini Lemah.
Diantara yang meriwayatkan hadits ini adalah Ibnu Abi Syaibah (4:74 cet. India), Abu Daud No. 3121. Hadits ini lemah karena Abu Utsman, di antara perawi hadits ini adalah seorang yang majhul (tidak diketahui), demikian pula dengan ayahnya. Hadits ini juga mudtharib (goncang sanadnya/tidak jelas).
[10]. "Artinya : Tidak seorang pun akan mati, lalu dibacakan Yasin di sisinya (maksudnya sedang naza') melainkan Allah akan memudahkan (kematian itu) atasnya".
Keterangan : Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan I :188. Dalam sanad hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al Jazari. Imam Ahmad dan Nasa'i berkata, ia tidak bisa dipercaya. Imam Bukhari, Muslim dan Abu Hatim berkata, ia munkarul hadits. Kata Abu 'Arubah Al Harrani, ia sering memalsukan hadits. [Periksa : Mizanul I'tidal IV : 90-91]
Penjelasan.

Abdullah bin Mubarak berkata : Aku berat sangka bahwa orang-orang zindiq (yang pura-pura Islam) itulah yang telah membuat riwayat-riwayat itu (hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat tertentu). Dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata : Semua hadits yang mengatakan, barangsiapa membaca surat ini akan diberikan ganjaran begini dan begitu SEMUA HADITS TENTANG ITU ADALAH PALSU. Sesungguhnya orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri. Mereka berkata, tujuan kami membuat hadits-hadits palsu adalah agar manusia sibuk dengan (membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur'an) dan menjauhkan mereka dari isi Al-Qur'an yang lain, juga kitab-kitab selain Al-Qur'an. [Periksa : Al-Manarul Munffish Shahih Wadh-Dha'if, hal. 113-115]

Dengan demikian jelaslah bahwa hadit-hadits tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin, semuanya LEMAH dan PALSU. Oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan keutamaan surat ini dan surat-surat yang lain, dan tidak bisa pula untuk menetapkan ganjaran atau penghapusan dosa bagi mereka yang membaca surat ini. Memang ada hadits-hadits shahih tentang keutamaan surat Al-Qur'an selain surat Yasin, tetapi tidak menyebut soal pahala.
Wallahu A'lam
Oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Share:

Saturday, January 26, 2013

Keutamaan Bacaan Tahlil Sepuluh Kali Seusai Shubuh dan Ashar


Keutamaan Bacaan Tahlil Sepuluh Kali Seusai Shubuh dan Ashar. Tulisan ini diambil dari Kitab Ash-Shahihah karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani. Semoga Tulisan ini bermanfaat.


١١٣ - مَنْ قَالَ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ بَعْدَ مَا يُصَلِّي الْغَدَاتِ عَشْرَ مَرَّاتٍ كَتَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ وَمُحِا عَنْهُ عَشْرُ سَيِّئَاتٍ وَرُفِعَ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ وَكُنَّ لَهُ بِعَدْلِ عِتْقِ رَقَبَتَيْنِ مِنْ وَلَدِ اِسْمَاعِيْلَ فَإِنْ قَالَهَا حِيْنَ يَمْسِي كَانَ لَهُ مِثْلَ ذٰلِكَ وَكُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ الشَّيْطَانِ حَتىّٰ يُصْبِحَ .

            “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaha illa Allahu wahdahu laa syarika lahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa ala kulli syai’in qadir (tidak ada Tuhan selain Allah, Esa Dia Tiada sekutu bagi-Nya bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya puji-pujian dan Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu) setelah shalat subuh sepuluh kali, maka Allah Azza wa Jalla menulis untukmu sepuluh kebaikan, menghapuskan sepuluh keburukan darinya mengangkat sepuluh derajat. Dan kalimat-kalimat itu baginya sebandning memerdekakan dua orang hamba sayaha dari anak Ismail. Jika dia mengucapkannya ketika sore, maka untuknya pula (balasan) seperti itu, dan kalimat-kalimat itu baginya menjadi penghalang dari syethan hingga pagi.”

            Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hasan bin Arafah dalam Juz-nya (5/1): “Telah bercerita kepadaku Qiran bin Taman Al-Asasi, dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abi Hurairah secara marfu’.

            Juga dari jalur Ibnu Arafah, dimana Al-Khathib meriwayatkannya dalam Tarikh-nya (12/389-472).

            Saya berpendapat: Hadits ini shahih sanadnya, para perawinya tsiqah dan merupakan perawi-perawi yang dipakai oleh Imam Muslim, kecuali Qiran, akan tetapi ia pun tsiqah.
           
            Hadits ini juga mempunyai syahid (hadits pendukung) dari hadits Abi Ayub Al-Anshari dengan lafazh “مَنْ قَالَ إِِذَا أَصْبحَ...    “

            “Barangsiapa membaca manakala telah shalat subuh”, kemudian dia menyebutkan haditsnya secara sempurna.”

            Hanya saja ia berkata ( أَربَعُ رِقَابٍ  ) yang berarti “empat hamba sahaya” dan berkata, “Dan manakal dia membaca kalimat seperti itu setelah magrib”.

            Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5/415), dari jalur Muhammad bin Ishak dari Yazid bin Yazid Ibnu Jabir, dari Al-Qasim bin Mukhairmirah dari Abdullah bin Ya’isy dari Abi Hurairah.

            Saya berpendapat: Para perawinya adalah tsiqah, keculi Ibnu Ya’isy. Tidak ada yang menganggapnya tisqah kecuali Ibnu Hibban, disamping itu juga tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Al-Qasim tersebut. Al-Hasani menilainya majhul (tidak dikenal).

            Akan tetapi Al-Mundziri dalam At-Targhib  (1/167) menyandarkan hadits itu kepada Ahmad, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Hal ini menunjukkan bahwa hadits itu, menurut An-Nasa’i tidak melalui jalan Ibnu Ya’isy, karena ia  perawi (yang dipakai) oleh An-Nasa’i.

            Dan Sungguh Abu Rahm As-Sam’i menguatkannya dengan hadits dari Abu Ayub dengan lafazh:

١١٤ - مَنْ قَالَ حِيْنَ يُصْبِحُ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ عَشْرَ مَرَّاتٍ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلَّ وَاحِدَةٍ قَالَهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ وَحَطَّ اللهُ عَنْهُ عَشْرَ سَيَّئَاتٍ وَرَفَعَهُ اللهُ بِهَا عَشْرَ دَرَجَاتٍ وَكُنَّ لَهُ كَعَشْرِ ِرقَابٍ وَكُنَّ لَهُ مَسْلَحَةً مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ إِلَى آخِرِهِ وَلَمْ يَعْمَلْ يَوْمَئِذٍ عَمَلاً يَقْهَرُهُنَّ فَإِنَّ قَالَ حِيْنَ يَمْسِي فَمِثْلُ ذٰلِكَ . ( صحيح ) _   

            “Barang siapa membaca ketika pagi Laa ilaha illa Allahu wahdahu laa syarika lahu lahul mulku walahul hamdu yuhyi wayumiytu wahuwa ala kulli syai’in qadir (tidak ada Tuhan selain Allah Dia Esa tidak ada sekgutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya puji-pujian. Dia menghidupkan dan mematikan dan dan berkuasa atas segala sesuatu), sepuluh kali, maka Allah mencatat untuknya, setiap satu kali ia membacanya, sepuluh kebaikan, Allah menghapuskan darinya sepuluh keburukan, Allah mengangkatnya dengan bacaan itu sepuluh derajat. Kalimat itu baginya seperti (memerdekakan) sepuluh hamba sahaya dan ia merupakan senjata baginya dari dini hari sampai akhir menjelang sore. Lalu jika dia membaca ketika sore, maka seperti itu juga keadannya.”

            Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/420): “Telah bercerita kepadaku Abu Al-Yaman: “Telah bercerita kepadaku Ismail bin Iyasy dari Shafwan bin Amr, dari Khalid bin Ma’dan, dari Abi Rahm.

            Saya berpendapat: Sanad ini shahih. Semua perwainya tsiqah. Sedangkan Ibnu Iyasy hanya lemah riwayatnya bila datang dari selain orang-orang Syam (Siria). Adapun jika dari orang-orang Syam maka shahih, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bukhari dan lainnya, sedang hadits ini juga termasuk dari orang-orang Syam tersebut. Adapun Shafwan adalah termasuk dari mereka yang tsiqah.

            Dalam riwayat ini ada faedah yang bagus. Yakni berupa tambahan      (  يُحْيِى وَيُمِيْتُ  ) “Dia menghidupkan dan mematikan”. Kalimat ini tidak terdapat dalam hadits lain. Dan saya telah meriwayatkannya dari hadits Abi Dzar. Dan Imarah bin Syahib, yang dinilai hasan oleh At-Tirmidzi. Sedangkan sanad keduanya adalah lemah, seperti yang telah saya jelaskan dalam At-Ta’liqur Raghib Alat-Targhib Wat-Tarhib.
Share:

Tuesday, January 22, 2013

Melaksanakan Perintah Sesuai Kemampuan


Inilah hadits tentang perrintah melaksanakan perintah sesuai dengan kemampuan kita, silahkan dibaca dan semoga bermanfaat.
عن أبي هريرة عبدالرحمن بن صخر رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم , فإنما أهلك الذين من قبلكم كثرة مسائلم واختلافهم على أنبيائهم
Dari Abu Hurairah, 'Abdurrahman bin Shakhr radhiallahu 'anh, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : "Apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh)"
[Bukhari no. 7288, Muslim no. 1337]

Hadits ini terdapat dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah berkhutbah dihadapan kami, sabda beliau : Wahai manusia, Allah telah mewajibkan kepada kamu haji, karena itu berhajilah, lalu seseorang bertanya : Wahai Rasulullah… apakah setiap tahun ?, Rasulullah diam, sampai orang itu bertanya tiga kali, lalu Rasulullah bersabda : Kalau aku katakana “ya” niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya, kemudian beliau bersabda lagi :Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan, karena kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka. Maka jika aku perintahkan melakukan sesuatu, kerjakanlah menurut kemampuan kamu, tetapi jika aku melarang kamu melakukan sesuatu, maka tinggalkanlah. Laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah adalah Aqra’ bin Habits, demikianlah menurut suatu riwayat.

Para ahli ushul fiqh mempersoalkan perintah dalam agama, apakah perintah itu harus dilakukan berulang-ulang ataukah tidak. Sebagian besar ahli fiqh dan ahli ilmu kalam menyatakan tidak wajib berulang-ulang. Akan tetapi yang lain tidak menyatakan setuju atau menolak, tetapi menunggu penjelasan selanjutnya. Hadits ini dijadikan dalil bagi mereka yang bersikap menanti (netral), karena sahabat tersebut bertanya “Apakah setiap tahun?” sekiranya perintah itu dengan sendirinya mengharuskan pelaksanaan berulang-ulang atau tidak, tentu Rasulullah tidak menjawab dengan kata-kata “Kalau aku katakan “ya”, niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya” Bahkan tidak ada gunanya hal tersebut ditanyakan. Akan tetapi secara umum perintah itu mengandung pengertian tidak perlu dilaksanakan berulang-ulang. Kaum muslim sepakat bahwa menurut agama, bahwa haji itu hanya wajib dilakukan satu kali seumur hidup.

Kalimat, “Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan” secara formal menunjukkan bahwa setiap perintah agama tidaklah wajib dilaksanakan berulang-ulang, kalimat ini juga menunjukkan bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban melaksanakan ibadah sampai datang keterangan agama. Hal ini merupakan prinsip yang benar dalam pandangan sebagian besar ahli fiqh.

Kalimat, “Kalau aku katakan “ya” tentu menjadi wajib” menjadi alasan bagi pemahaman para salafush sholih bahwa Rasulullah mempunyai wewenang berijtihad dalam masalah hukum dan tidak diisyaratkan keputusan hukum itu harus dengan wahyu.

Kalimat, “apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu” merupakan kalimat yang singkat namun padat dan menjadi salah satu prinsip penting dalam Islam, termasuk dalam prinsip ini adalah masalah-masalah hukum yang tidak terhitung banyaknya, diantaranya adalah sholat, contohnya pada ibadah sholat, bila seseorang tidak mampu melaksanakan sebagian dari rukun atau sebagian dari syaratnya, maka hendaklah ia lakukan apa yang dia mampu. Begitu pula dalam membayar zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, bila tidak bisa membayar semuanya, maka hendaklah ia keluarkan semampunya, juga dalam memberantas kemungkaran, jika tidak dapat memberantas semuanya, maka hendaklah ia lakukan semampunya dan masalah-masalah lain yang tidak terbatas banyaknya. Pembahasan semacam ini telah populer didalam kitab-kitab fiqh. Hadits diatas sejalan dengan firman Allah, QS. At-Taghabun 64:16, “Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kemampuan kamu” Adapun firman Allah, QS. Ali ‘Imraan 3:102, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sungguh-sungguh” ada yang berpendapat telah terhapus oleh ayat diatas. Sebagian ulama berkata : Yang benar ayat tersebut tidak terhapus bahkan menjelaskan dan menafsirkan apa yang dimaksud dengan taqwa yang sungguh-sungguh, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, dan Allah memerintahkan melakukan sesuatu menurut kemampuan, karena Allah berfirman, QS. Al-Baqarah 2:286, “Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya” dan firman Allah dalam QS. Al-Hajj 22:78, “Allah tidak membebankan kesulitan kepada kamu dalam menjalankan agama”

Kalimat, “apasaja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi” maka hal ini menunjukkan adanya sifat mutlak, kecuali apabila seseorang mengalami rintangan /udzur dibolehkan melanggarnya, seperti dibolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat, dalam keadaan seperti ini perbuatan semacam itu menjadi tidak dilarang. Akan tetapi dalam keadaan tidak darurat hal tersebut harus dijauhi karena ada larangan. Seseorang tidak dapat dikatakan menjauhi larangan jika hanya menjauhi larangan tersebut dalam selang waktu tertentu saja, berbeda dengan hal melaksanakan perintah, yang mana sekali saja dilaksanakan sudah terpenuhi. Inilah prinsip yang berlaku dalam memahami perintah secara umum, apakah suatu perintah harus segera dilakukan atau boleh ditunda, atau cukup sekali atau berulang kali, maka hadits ini mengandung berbagai macam pembahasan fiqh.

Kalimat, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka” disebutkan setelah kalimat, “biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan kepada kamu” maksudnya ialah kamu jangan banyak bertanya sehingga menimbulkan jawaban yang bermacam-macam, menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil, tatkala mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi yang seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera menyembelih sapi seadanya, niscaya mereka dikatakan telah menaatinya.

Akan tetapi, karena mereka banyak bertanya dan mempersulit diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam khawatir hal semacam ini terjadi pada umatnya.
Share:

Sunday, January 20, 2013

Hadits: Agama adalah Nasihat


Agama adalah nasihat, itulah judul posting hari ini, mudah-mudahan bermanfaat, yang diambil dari kitab yang sangat dikenal “Hadits Arba’in oleh An-Nawawi”.

عن أبي تميم بن أوس الـداري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال " 
الدين النصيحة قلنا لمن ؟ قال : لله ولرسوله وللأئمة المسلمين و عامتهم

Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari radhiallahu 'anh, “Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : Agama itu adalah Nasehat , Kami bertanya : Untuk Siapa ?, Beliau bersabda : Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim”
[Muslim no. 55]

Tamim Ad Daari hanya meriwayatkan hadits ini, kata nasihat merupakan sebuah kata singkat penuh isi, maksudnya ialah segala hal yang baik. Dalam bahasa arab tidak ada kata lain yang pengertiannya setara dengan kata nasihat, sebagaimana disebutkan oleh para ulama bahasa arab tentang kata Al Fallaah yang tidak memiliki padanan setara, yang mencakup makna kebaikan dunia dan akhirat.

Kalimat, “Agama adalah Nasihat” maksudnya adalah sebagai tiang dan penopang agama, sebagaimana sabda Rasulullah, “Haji adalah arafah”, maksudnya wukuf di arafah adalah tiang dan bagian terpenting haji.
Tentang penafsiran kata nasihat dan berbagai cabangnya, Khathabi dan ulama-ulama lain mengatakan :

  1.  Nasihat untuk Allah maksudnya beriman semata-mata kepada-Nya, menjauhkan diri dari syirik dan sikap ingkar terhadap sifat-sifat-Nya, memberikan kepada Allah sifat-sifat sempurna dan segala keagungan, mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan, menaati-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, mencintai dan membenci sesuatu semata karena-Nya, berjihad menghadapi orang-orang kafir, mengakui dan bersyukur atas segala nikmat-Nya, berlaku ikhlas dalam segala urusan, mengajak melakukan segala kebaikan, menganjurkan orang berbuat kebaikan, bersikap lemah lembut kepada sesama manusia. Khathabi berkata : “Secara prinsip, sifat-sifat baik tersebut, kebaikannya kembali kepada pelakunya sendiri, karena Allah tidak memerlukan kebaikan dari siapapun”
  2. Nasihat untuk kitab-Nya maksudnya beriman kepada firman-firman Allah dan diturunkan-Nya firman-firman itu kepada Rasul-Nya, mengakui bahwa itu semua tidak sama dengan perkataan manusia dan tidak pula dapat dibandingkan dengan perkataan siapapun, kemudian menghormati firman Allah, membacanya dengan sungguh-sungguh, melafazhkan dengan baik dengan sikap rendah hati dalam membacanya, menjaganya dari takwilan orang-orang yang menyimpang, membenarkan segala isinya, mengikuti hokum-hukumnya, memahami berbagai macam ilmunya dan kalimat-kalimat perumpamaannya, mengambilnya sebagai pelajaran, merenungkan segala keajaibannya, mengamalkan dan menerima apa adanya tentang ayat-ayat mutasyabih, mengkaji ayat-ayat yang bersifat umum, dan mengajak manusia pada hal-hal sebagaimana tersebut diatas dan mengimani Kitabullah.
  3. Nasihat untuk Rasul-Nya maksudnya membenarkan ajaran-ajarannya, mengimani semua yang dibawanya, menaati perintah dan larangannya, membelanya semasa hidup maupun setelah wafat, melawan para musuhnya, membela para pengikutnya, menghormati hak-haknya, memuliakannya, menghidupkan sunnahnya, mengikuti seruannya, menyebarluaskan tuntunannya, tidak menuduhnya melakukan hal yang tidak baik, menyebarluaskan ilmunya dan memahami segala arti dari ilmu-ilmunya dan mengajak manusia pada ajarannya, berlaku santun dalam mengajarkannya, mengagungkannya dan berlaku baik ketika membaca sunnah-sunnahnya, tidak membicarakan sesuatu yang tidak diketahui sunnahnya, memuliakan para pengikut sunnahnya, meniru akhlak dan kesopanannya, mencintai keluarganya, para sahabatnya, meninggalkan orang yang melakukan perkara bid’ah dan orang yang tidak mengakui salah satu sahabatnya dan lain sebagainya.
4. Nasihat untuk para pemimpin umat islam maksudnya menolong mereka dalam kebenaran, menaati perintah mereka dan memperingatkan kesalahan mereka dengan lemah lembut, memberitahu mereka jika mereka lupa, memberitahu mereka apa yang menjadi hak kaum muslim, tidak melawan mereka dengan senjata, mempersatukan hati umat untuk taat kepada mereka (tidak untuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya), dan makmum shalat dibelakang mereka, berjihad bersama mereka dan mendo’akan mereka agar mereka mendapatkan kebaikan.

5. Nasihat untuk seluruh kaum muslim à maksudnya memberikan bimbingan kepada mereka apa yang dapat memberikan kebaikan bagi merela dalam urusan dunia dan akhirat, memberikan bantuan kepada mereka, menutup aib dan cacat mereka, menghindarkan diri dari hal-hal yang membahayakan dan mengusahakan kebaikan bagi mereka, menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan mencegah mereka berbuat kemungkaran dengan sikap santun, ikhlas dan kasih sayang kepada mereka, memuliakan yang tua dan menyayangi yang muda, memberikan nasihat yang baik kepada mereka, menjauhi kebencian dan kedengkian, mencintai sesuatu yang menjadi hak mereka seperti mencintai sesuatu yang menjadi hak miliknya sendiri, tidak menyukai sesuatu yang tidak mereka sukai sebagaimana dia sendiri tidak menyukainya, melindungi harta dan kehormatan mereka dan sebagainya baik dengan ucapan maupun perbuatan serta menganjurkan kepada mereka menerapkan perilaku-perilaku tersebut diatas. Wallahu a’lam

Memberi nasihat merupakan fardu kifayah, jika telah ada yang melaksanakannya, maka yang lain terlepas dari kewajiban ini. Hal ini merupakan keharusan yang dikerjakan sesuai kemampuan. Nasihat dalam bahasa arab artinya membersihkan atau memurnikan seperti pada kalimat nashahtul ‘asala artinya saya membersihkan madu hingga tersisa yang murni, namun ada juga yang mengatakan kata nasihatmemiliki makna lain. Wallahu a’lam
Share:

Saturday, January 12, 2013

Beasiswa Tak Selamanya, Pak!

Hidup serba kecukupan. Kuliah tanpa perlu memikirkan tempat tinggal, bagaimana dan dari mana peroleh kebutuhan. Semua fasilitas telah tersedia. Tinggal di lingkungan yang serba nihil dari kekurangan mendorong seseorang mudah lupa masa 'suramnya'. Lupa "ndek jaman ber-juang". Lupa saat-saat berharganya secentong nasi yang tak gampang ia kecap sendiri kala masih nyantri. Inilah sebagian keadaan yang melanda 'beberapa' mahasiswa beasiswa di luar negeri.

Beasiswa Tak Selamanya, Pak!


Dulu, secentong nasi. Bisa melahap secentong nasi kosongan bagi seorang santri pondok pesantren sudah sangat berarti. Cukuplah dua kali sehari dapat membuatnya bertahan bertahun-tahun di 'penjara suci'. Ia sadar betul untuk mendapatkan ‘sebanyak’ itu tidaklah cuma-cuma. Minimal ia harus jual jasa untuk mengganti biaya di sekolah tradisionalnya. Tak jauh beda, sebagian lembaga modern tak segan memaksa si orangtua merogoh koceknya dalam-dalam. Itulah sebabnya andai saja tiap hari ada seorang kawannya merelakan jatah makan siang untuknya alangkah beruntungnya dia.

Sewaktu masih nyantri barangkali ia tak akan mengelak jika disebut jawara peduli nasi. Gelar ‘santri nggragas’ pun sudah akrab baginya bahkan di kalangan mereka itu hal biasa dan bukan terlalu naïf untuk dikata karena yang mendapat gelar ini merata. Sikapnya yang tegas mengajak semua kawannya untuk benar-benar mensyukuri makanan yang ada. Pantang baginya menyisakan satu butir nasi. Kalau perlu setelah selesei ia suka rela siap bantu menghabisan bagian kawannya.

Namun perlahan, prinsipnya selama ini roboh. Keadaan yang ia dapati sekarang amat jauh dari yang ia alami saat itu. Ia lihat kanan kiri. Orang-orang dengan tampang tak berdosa gemar membiarkan makanan tersisa. Pemandangan asing ini ternyata lambat laun berpengaruh pada si mantan santri. Awalnya perilaku ini bukan dari tabiatnya, aib baginya menyisakan makanan di piring. Akan tetapi seiring berjalan waktu ia melihat ternyata dia tidak sendiri. Ia perhatikan banyak di antara kawannya melakukan hal yang sama. Entah karena gengsi, entah karena takut disebut ‘pelit’, entah pula karena sudah membudidaya di kalangan mereka sehingga perbuatan tercela ini terkesan hanya hal biasa.

Ketika ditanya apa gerangan yang membuatnya membiarkan makanan terbuang sia-sia enteng saja ia kata, “Aduh, ane udah kenyang nih, tadi kebanyakan sih ngambilnya.” Alasan yang sukar diterima. Dua puluh tahun lebih bukan waktu yang singkat untuk belajar mengambil makanan yang sesuai selera dan porsi kita. Kecuali kalau memang anda (baca: dia) orang yang suka bermudah-mudahan, "itu mah biasa aja".

Lalu benarkah tidak menyisakan makanan dikatakan pelit? Sebagian orang menjuluki orang yang suka menyisakan jatah makannya sebagai dermawan karena dia membagi bagiannya walaupun tak jelas kemana perginya. Sebaliknya mereka yang selalu berusaha menghabiskan jatah makannya mereka sebut orang pelit karena disangka tak mau berbagi. Ini persepsi yang salah. Bukan masalah pelit atau dermawan tapi masalah tanggungjawab dan kelalaian. Mereka nampaknya belum bisa membedakan antara perbuatan membagi dan menyisakan.

Membagi makanan lebih tepat jika kita katakan pada seseorang yang sedang membagi makanannya sebelum ia makan menjadi beberapa bagian. Sebagian ia makan dan sebagian lain sengaja dipisahkan untuk diberikan kepada orang lain. Sedangkan kata menyisakan memiliki objek yaitu sisa. Harus dibedakan antara membagi makanan dengan menyisakan. Sebagaimana sudah saya singgung bahwa sisa merupakan objek dari perbuatan menyisakan yang artinya hasil dari perbuatan makan yang tidak sampai selesei. Dari sini jelas bahwa menyisakan adalah menjadikan makanan tersisa atawa bekas dikanan. Berbeda dengan "membagi" yang memang sedari awal objeknya sudah terpisah dari makanan yang mau dimakan. Sehingga lebih tepatnya ‘dermawan’ tadi  kita sebut orang tak bertanggungjawab sedangkan ‘si pelit’ ialah orang yang menunaikan tanggungjawabnya.

Kenyataan di lapangan telah membuktikan orang-orang yang sok 'dermawan' tadi sebenarnya hanya menjadikan kata tersebut sebagai tameng agar tak dikatakan orang yang berlaku israf maupun tabdzir. Buktinya ia rela sisa makannya dititipkan ke bak sampah. Sedikit berbeda kalau ia bungkus sisanya lalu ia kasihkan kucing (kalo ada) pasti jelas faedahnya.

Boleh jadi memang dalam beberapa kondisi bisa dimaklumi tatkala seseorang tak mampu menghabiskan makanannya. Tidak dipungkiri bahwa pada saat-saat tertentu perut kita mendadak berontak. Dari awalnya sangat berhasrat menyikat semua menu di depan mata tapi tiba-tiba keinginan tersebut berubah seketika. Namun tidak kemudian kita hiraukan kondisi tersebut hingga berulang-ulang menjadi sebuah kebiasaan.

Kita tak boleh lupa bahwa sewaktu-waktu Dzat Yang Maha Kuasa berhak mencabut nikmat tersebut dari arah yang tak kita sangka. Hingga kini masih ada 868 juta jiwa atau 12,5% dari populasi penduduk dunia terlunta-lunta nyaris putus urat nadinya demi bertahan di tengah kerasnya mencari pangan, adapun kita?

Wahai saudara, sejauh mana rasa tanggungjawab seorang hamba atas nikmat Allah ini bisa dilihat dari caranya memperlakukan makanan di depannya. Ya, makanan yang anda ambil berarti sudah menjadi tanggungjawab anda. Sesuatu yang kelak di akhirat karenanya anda ditanya.

Solusinya sederhana, siapapun bisa sekalipun tak lulus TK. Ambillah makanan sesuai porsi anda dan yakinlah yang anda ambil tak melebihi muatan lambung anda. Kalau masih tak bisa, ingatlah beasiswa ini tak akan selamanya!
Share:

Friday, January 11, 2013

Tidak Ada yang Salah dengan Pernikahan ini

Ada seorang wanita cantik yang ingin menikah, tapi dia ingin seorang suami yang sangat saleh, sehingga dia berkata bahwa dia akan menikah dengan pria yang membaca seluruh Al-Quran setiap hari, puasa sepanjang tahun dan tetap terjaga dan memuja Allah sepanjang malam.

Tidak Ada yang Salah dengan Pernikahan ini


Dia adalah seorang wanita yang sangat cantik, dan banyak pelamar ingin menikahinya, tapi mereka tahu mereka tidak bisa memenuhi persyaratan yang dia inginkan. Namun, satu orang ini melangkah maju dan berkata ia bisa memenuhinya. Jadi, Imam (penghulu) menikahkan keduanya.

Setelah malam pertama pernikahan, istri melihat bahwa suaminya tidak membaca seluruh Al-Quran, tidak berpuasa dan juga tidak terjaga dalam menyembah Allah (sholat), ia memutuskan untuk membiarkannya selama beberapa minggu untuk melihat apakah ada perubahan, tapi tidak ada, jadi dia mengajukan keluhan dan meminta cerai.

Keduanya tiba di depan hakim, dan hakim bertanya, 'Bagaimana kondisi pernikahan kalian?' Orang itu menjawab ‘Dia menyuruh saya untuk membaca Al-Quran setiap hari, berpuasa selama satu tahun penuh dan untuk menyembah Allah (solat) sepanjang malam."

Hakim bertanya, 'apakah kau memenuhinya? Orang itu menjawab dengan tenang, "... ya. '

Hakim menjawab, "Anda berbohong, istri Anda mengatakan bahwa Anda tidak menjalankan persyaratannya, itu sebabnya dia meminta cerai '.

Tetapi orang itu bersikeras bahwa ia telah memenuhi persyaratan, sehingga hakim bertanya, Orang itu menjawab ya 'kau membaca Quran penuh setiap hari?'. Hakim, bingung dan bertanya, 'bagaimana? Bagaimana Anda bisa melakukan itu? "Orang itu dengan tenang menjawab," Saya membaca Surah Al-Ikhlas tiga kali sehari dan menurut Nabi Muhammad (SAW), membaca Surah Al-Ikhlas tiga kali setara dengan membaca Al-Quran secara keseluruhan. "

Hakim itu tertarik, sehingga ia bertanya, 'Bagaimana Anda berpuasa sepanjang tahun? "Orang itu menjawab,' Aku berpuasa selama bulan Ramadhan, kemudian enam hari berpuasa di bulan Syawal, menurut Nabi Muhammad (SAW), menjaga semua puasa Ramadhan kemudian menjaga enam hari berpuasa di bulan Syawal, seolah-olah Anda telah berpuasa sepanjang tahun. "

Hakim tetap diam, dia tidak bisa memberikan jawaban mengatakan pria itu salah, jadi akhirnya ia bertanya, 'Bagaimana Anda tetap terjaga sepanjang malam dan beribadah kepada Allah, ketika istri Anda melihat Anda tidur? "Pikir Hakim yang tidak dapat menjawab satu ini, tapi pria yang sedingin mentimun menjawab, "Aku melaksanakan Solat Isya berjamaah, maka hari berikutnya solat subuh berjamaah, menurut Nabi Muhammad (SAW), orang yang melaksanakan solat Isya dan subuh berjamaah, seolah-olah dia telah terjaga sepanjang malam menyembah Allah. "

Hakim duduk di sana melihat orang itu, putusan akhir akan segera diumumkan...

Dia berkata kepada pria dan istrinya, '... pergi, pergi saja, tidak ada yang salah dengan pernikahan ini'

Red : Istiqomah
Sumber: Muslimahnet
Share:

Thursday, January 3, 2013

Hukum Berdakwah Kepada Allah


Pada kesempatan ini saya coba menghadirkan tulisan yang bersumber dari situs Dakwah Islam tentang jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya tentang Hukum Berdakwah Kepada Allah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah berdakwah kepada Allah itu wajib atas setiap muslim dan muslimah, ataukah hanya terbatas pada para ulama dan penuntut ilmu (syar’i) saja ? Dan bolehkah seorang awam berdakwah kepada Allah ?
Beliau Menjawab:
Apabila seseorang berada di atas bashirah (pengetahuan yang benar dan jelas) terhadap apa yang ia akan dakwahkan, maka tidak ada perbedaan antara seorang alim yang besar dan dihormati atau seorang penuntut ilmu yang tekun atau seorang awam. Namun ia harus mengetahui masalah (yang ia dakwahkan) dengan ilmu yang meyakinkan. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat” [1]
Dan seorang da’i tidak dipersyaratkan harus sampai pada derajat/kadar yang tinggi dalam hal ilmu. Akan tetapi dipersyaratkan ia harus mengetahui apa yang dia dakwahkan. Adapun jika ia menjalankan dakwah atas dasar kebodohan dan perasaan yang ia miliki, maka hal ini tidak boleh.
Oleh karena itu kita sering menemukan saudara-saudara kita yang menyeru ke jalan Allah namun tidak memiliki ilmu kecuali sedikit ; kita akan menemukan mereka karena semangat yang sangat kuat lalu mengaharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah dan mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh Allah atas hamba-hambaNya. Dan ini adalah perkara yang sangat berbahaya, karena mengharamkan apa yang dihalalkan Allah adalah sama dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Maka jika mereka mengingkari orang lain yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah maka yang lainpun akan mengingkari perngharaman mereka terhadap apa yang dihalalkan Allah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-ngadakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka adzab yang pedih” [An-Nahl : 116-117]
Adapun seorang awam maka ia tidak boleh berdakwah sementara ia tidak mengetahui (apa yang akan ia dakwahkan). Maka yang pertama kali harus (dipenuhi) adalah ilmu, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Artinya : Katakanlah : Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” [Yusuf : 108]
Maka ia harus berdakwah ke jalan Allah dengan landasan ilmu yang jelas (bashirah). Namun (dalam) perkara mungkar yang telah jelas atau perkara ma’ruf yang telah jelas, maka ia dapat memerintahkannya jika hal itu sesuatu yang ma’ruf, dan ia dapat melarangnya jika hal itu adalah suatu kemungkaran.
Adapun dakwah maka ia harus didahului dengan ilmu, karena siapa yang berdakwah tanpa ilmu maka ia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki, sebagaimana yang telah nampak. Maka menjadi kewajiban setiap insan untuk belajar terlebih dahulu lalu selanjutnya berdakwah.
Adapun pada perkara-perkara mungkar yang telah jelas atau pada perkara-perkara ma’ruf yang telah jelas, maka (orang awam itu) dapat melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar di dalamnya.
[Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. [Potongan dari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3461 dari hadits Abdullah Ibn Umar Radhiyallahu ‘anhuma
Share: